KEANEKA RAGAMAN MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI MULTIETNIK

PROF. DR. SYAMSIAH BADRUDDIN, M.Si

A. Aneka Ragam Kemajemukan Masyarakat Indonesia

    Sejak lama masyarakat Indonesia bersifat majemuk Kemajemukannya diketahui dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” artinya berbeda-beda, tetapi tetap satu. Semboyan ini mengandung pengertian bahwa masyarakat Indonesia walaupun beraneka ragam kelompok etnik dan ras, tetapi tetap merupakan satu kesatuan yang menginginkan keutuhan.

    Kemajemukan masyarakat Indonesia terdapat aneka ragam perbedaan seperti; kelompok etnik, agama, daerah asal, dan ras Keanekaragaman tersebut berpengaruh terhadap perbedaan sistem kepercayaan, pandangan hidup dan perilaku, sehingga cenderung menimbulkan konflik baik sosial maupun budaya laten.

    Istilah kemajemukan pertama dikemukakan oleh J.S. Furnivall (Triono Sosiologi 2, 1999:37) untuk menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia terdiri atas ras dan kelompok etnik, sehingga sulit bersatu dalam kesatuan sosial politik. Di dalam masyarakat majemuk terdapat perbedaan etnik, bahasa, ras, kasta, agama, kedaerahan dan perbedaan itu berpengaruh terhadap kerukunan sosial bangsa dan negara.

    Furnivall (1948) menunjuk kemajemukan masyarakat akan adanya ras kulit putih Belanda, keturunan Cina, India dan pribumi. Jadi yang berbeda bukan hanya warna kulitnya, tetapi suku bangsa, agama, kepercayaan dan sistem sosial dan budayanya pun berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut:

    1. Perbedaan Ras

    Menurut Robertson (1977) ras merupakan pengelompokkan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tertentu, diturunkan secara turun-temurun. Mereka berbeda secara fisik, karena hasil interaksi dengan lingkungan khusus.

    Kategori ras, di dunia paling sedikit terdapat tiga jenis pengelompokkan yaitu; Kaukasoid, Mongoloid dan Negroid. Ras Kaukasoid ditandai oleh kulit putih dengan rambut lurus atau mengombak. Ras Mongoloid ditandai oleh warna kulit kuning atau coklat dengan mata yang sipit. Ras Negroid ditandai oleh kulit hitam dengan rambut keriting atau kribo. Selain itu terdapat aneka ras dengan ciri-ciri yang beragam, seperti ras yang masuk kategori Kaukasoid adalah Anglo Saxon termasuk kulit Putih Eropa terdapat di Inggeris, Irlandia, dan AS. Secara tegas mereka membedakan dirinya dengan ras negroid kulit hitam keturunan Afrika. Di Asia ditemukan banyak kelompok ras mongoloid termasuk orang kulit coklat di Indonesia, ras negroid banyak ditemukan di Afrika.

    Perbedaan komunitas menurut ras penting untuk rnemahami karakter masyarakat majemuk berkaitan dengan prasangka dan diskriminasi rasial. Prasangka rasial adalah sikap negatif terhadap kelompok lain yang ditujukan kepada warna kulit tertentu tanpa lebih dahulu mengetahui kenyataan sebenarnya. Prasangka berkaitan dengan istilah streotipe, yaitu pikiran berprasangka didasarkan pada kesan umum yang dipercayai tentang sifat-­sifat dan karakter kelompok tertentu.

    Prasangka seringkali menuntun perilaku orang bersifat diskriminatif terhadap ras lain. Perilaku diskriminatif menimbulkan ketidakadilan, sehingga cenderung menimbulkan keresahan sosial. Sifat diskriminatif pernah berlaku di Afrika sebelum Nelson Mandella berkuasa. Orang kulit Putih minoritas berkuasa membatasi secara hukum hak politik warga negara kulit hitam di Afrika Selatan.

    • Perbedaan Etnisitas

    Kalau etinisitas tolok ukurnya berkaitan dengan ciri-ciri fisik, maka etnisitas berkonotasi dengan karakteristik sosial dan budaya suatu kelompok tertentu. Karakteristik dan budaya dibentuk berdasarkan agama, bahasa, suku (kedaerahan). Menurt Roberston (1977), Kelompok etnik adalah sejumlah orang komunitas memandang diri dan komunitas orang lain memiliki kesatuan sosial budaya yang berbeda. Kategori itu terbentuk akibat dai sifat-sifat budaya bersama dan interaksi sosial timbal-balik terus menerus. Dalam pengertian ini yang penting anggota kelompok memiliki perasaan dan identitas yang sama berdasarkan asal-usul agama, bahasa, dan pengalaman.

    Banyak kelompok kesukuan dipandang berbeda secara etnis, misalnya orang Jawa dengan orang Irian; orang Maluku orang Batak, orang Aceh, suku-suku daerah lainnya, karena diperkirakan di Indonesia ada 300 suku bangsa yang mendiami kepulauan ini.

    Pemahaman konsep etnisitas penting untuk menjelaskan dinamika komunitas majemuk melalui sikap etnosentrisme. Sikap   adalah orang yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari berbagai tolak ukur untuk menilai kelompok lain. Ada kecenderungan bahwa kelompoknya yang paling baik di antara etnik lainnya.

    Sikap etnosentrisme menimbulkan perilaku tidak adil dalam memperlakukan orang lain, terutama kelompok minoritas. Biasanya sikap etnosentrisme menimbulkan keresahan dan konflik. Salah satu contoh di Yugoslavia, yaitu antara suku Bosnia dan Serbia, dimana mereka berperang untuk mempertahankan etnisnya. Contoh lain pembantaian orang Yahudi oleh tentara Nazi Jerman yang memandang orang Yahudi ras terhina.

    • Kemajemukan Etnis Indonesia

    Masyarakat Indonesia terdapat banyak perbedaan budaya dan cara hidup di antara kelompok-kelompok dan anggota masyarakat. Di Sumatera kita dapat menjumpai keanekaragami suku bangsa dan agama, misalnya suku Aceh yang mayoritas beragama Islam, suku Batak mayoritas beragama Kristen/Katolik. Suku Minangkabau di Sumatera Barat dan suku Melayu di Sumatera Selatan. Di Jawa ditemukan suku Sunda, Jawa dengan bahasa Jawa, suku Madura dengan bahasanya sendiri. Suku Bali menggunakan bahasa Bali yang mayoritas beragama Hindu. Irian, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi terdapat suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, dan sebagainya.

    Masyarakat Kepulauan dan Perbedaan Etnik

      Kepulauan. Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau (13.667) pulau besar dan kecil. Sebagai kepulauan Indonesia memiliki keanekaraganman suku dengan sistem sosial dan budaya yang berbeda.

      Pembentukan suku-suku terjadi, karena perbedaan kelompok dari kepulauan nusantara. Mereka berasal dari induk bangsa yang berlainan. Di mana: induk bangsa terbesar dan tertua yang pernah hidup di Indonesia adalah bangsa Negroid, Weddid dan Melayu. Induk bangsa negroid mempunyai ciri-ciri berkulit hitam dan rambut ikal. Di antara kelompok ini adalah orang-orang Tapiro yang umumnya berdiam di kawasan timur termasuk Irian Jaya. Induk bangsa Weddid berasal dari Widda yang hidup di Srilangka dengan ciri-ciri rambut berombak dan lengkung alisnya dan menjorok ke depan. Induk keturunan ini banyak di jumpai di daerah semenanjung Barat Sulawesi (suku Toalo, Tomuna, Tokae) dan di Sumatera Selatan terdapat suku Kubu. Induk suku Melayu yang paling terkenal banyak di jumpai di seluruh wilayah Indonesia. Induk suku bangsa ini dapat dibedakan dengan dua tipe yaitu; Proto Melayu dan Deutero Melayu. Wajah mereka mirip wajah dengan bangsa Mongol yang memiliki ciri tulang pipi agak menonjol ke depan, berhidung lebar dan pesek, kulit coklat dan tubuh pendek. Kebanyakan tinggal di Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Ketiga kelompok induk tersebut lama tinggal di Indonesia, tetapi banyak tergeser ke pedalaman, karena terdesak oleh kedatangan pedagang dan kolonial yang berasal dari Eropa dan Asia (Arab, India Tionghoa). Sekarang ketiga kelompok induk suku tersebut diwarisi oleh sekitar 300 suku bangsa dengan menganut sekitar 250 bahasa.

      • Perdagangan Laut dan Perbedaan Agama

      Letak Indonesia yang strategis berada pada posisi silang perdagangan dunia sebagai lalulintas perdagangan, sehingga menjadi persinggahan pedagang maupun pembawa misi keagamaan Selain melakukan perdagangan juga membawa budaya baru. Di Jawa dijumpai adanya percampuran antara penduduk asli dengan kaum pendatang Hindu yang di samping berdagang  juga membawa agamanya. Terjadinya asimilasi antara penduduk asli dengan pendatang baru membuat banyak orang Jawa yang menganut agama Hindu. Pengaruh itu dapat dilihat adanya ritual-ritual, sampai sekarang masih dipelihara di pegunungan Bromo Jawa Timur, candi bekas peninggalan Hindu di Jawa Tengah.

      Abad berikutnya terjadi persentuhan agama lain yaitu kedatangan saudagar-saudagar dari Gujarat dan bangsa Arab datang berdagang dan ada juga menjadi lnisi penyebar Islam. Setelah datang bangsa Arab pengaruh kebudayaan Islam meluas, mulai dari Aceh pantai Utara Sumatera sampai ke Jawa yang dibawa oleh pedagang Islam, kaum Sufi menelusuri pantai dan membentuk kerajaan Islam, seperti kerajaan Islam Pasai di Sumatera Utara, kerajaan Islam di Jawa, kerajaan Islam di Maluku, Kalimantan dan kerajaan Gowa di Makassar.

      Pada episode berikutnya berdatangan bangsa-bangsa lain dari barat dengan membawa agama Kristen juga membawa pengaruh yang bersar terhadap penduduk asli. Budaya barat pertama kali dibawa oleh misionaris bersama datangnya kaum penjajah bangsa Portugis, Belanda, Inggeris dan Perancis. Kemudian memunculkan komunitas yang beragama Kristen dan Katolik, seperti di daerah Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan (Toraja), Maluku (Ambon), Nusa Tenggara (Timor dan Flores), seperti Hindu dan Islam tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk setempat.

      • Kedatangan Penjajah dan Perbedaan Ras

      Masuknya penjajah Belanda termasuk mewarnai kemajemukan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal ras. Masyarakat Indonesia pada era penjajahan Belanda memiliki kemajemukan atas dasar ras dan ekonomi. Menurut Furnivall membagi komunitas ras di Indonesia menjadi tiga streotipe: 1) Golongan Eropa atau kulit putih yang aktif di perusahaan perkebunan atau bekerja di pemerintahan. 2) Golongan Cina atau etnis Cina yang memonopoli perdagangan. 3) Komunitas pribumi yang berdiam di pedalaman dan menjadi petani tradisional.

      Ketiga komunitas tersebut hidup berdampingan, tetapi secara sosio-kultural dan politik terpisah. Di antara mereka tidak memiliki kebersamaan, sehingga bisa menimbulkan konflik. Peristiwa sosial itu disebabkan adanya perbedaan ras, daerah asal dan agama. Orang kulit putih kebanyakan beragama Kristen/Katolik, orang Cina beragama Budha, komunitas pribumi mayoritas beragama Islam. Di samping perbedaan itu ada perbedaan lain yaitu:

      Manajer
      Pedagang
      Petani
      Eropa  
      Cina    
      Pribumi
      Kristen/Katholik Budha/Kristen/Katholik Islam/agama lokal
      • Kemajemukan Masyarakat Indonesia dan Integrasi Nasional

      Kernajemukan masyarakat Indonesia merupakan potensi untuk memperkaya kebudayaan nasional, di sisi lain dapat meretakkan persatuan dan kesatuan. Di dalam struktur sosial masyarakat Indonesia menurut Lidlle (Lamban Triono Sosiologi 2, 1998:53) terdapat dua dimensi yaitu mendatar dan vertikal. Dimensi mendatar (horizontal) mencakup berbagai kelompck etnik dengan warisi aspek seperti; etnis, keluarga, bahasa, agama dan rasial. Kalau tidak direkat dengan idiologi negara (Pancasila) dapat mengancam integrasi nasional.

      Dimensi vertikal mencakup; politik, ekonomi, dan budaya antara komunitas pedesaan dengan komunitas perkotaan, pendidikan dan yang tidak berpendidikan, elit politik nasional dan elit tradisional dan sebagainya. Untuk tidak terjadinya konflik atau keretakan sosiai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

      1. Pemaksaan Oleh Kelompok Terkuat

      Integrasi masyarakat majemuk dapat dilakukan melalui coersion (paksaan) kelompok yang yang kuat terhadap kelompok lemah. Teori ini dikemukakan oleh Furnivall dan M.G. Smith (1948) bahwa masyarakat majemuk hanya bisa terintegrasi apabila kelompok kuat memaksakan kelompok lemah. Menurut Furnivall masyarakat majemuk sulit diciptakan konsensus nilai-nilai di antara kelompok yang ada. Setiap kelompok selalu ingin mempertahankan keinginan berdasarkan nilai budayanya masing­-masing. Oleh karena itu golongan yang mempunyai posisi kuat harus menekan kelompok lemah untuk bersatu dalam menciptakan keharmonisan untuk menciptakan integrasi nasional.

      1. Penyatuan Kelompok Etnik Oleh Faktor Ekonomi

      Integrasi masyarakat majemuk dapat juga dicoba dengan melalui sistem ekonomi masyarakat. Teori ini dikemukakan oleh Stephen (1986) dan Moris (1988) . Mereka mengatakan bahwa sementara pembangunan ekonomi berlangsung, sering kali menciptakan aktifitas ekonomi dan bisnis baru yang akan mendorong dari berbagai latarbelakang etnis, ras dan agama bersatu dalam kegiatan bisnis yang sama. Di sini kepentingan ekonomi mengalahkan loyalitas orang pada promordial atau kelompok kultural mereka. Sebagai contoh munculnya kegiatan proyek pembangunan di Indonesia pada tahun 1970-an, mereka terlibat dalam pembangunan dengan. modal asing dengan melibatkan berbagai kelompok etnis atau ras.

      1. Akulturasi Budaya Majemuk

      Proses integrasi dapat juga melalui proses akulturasi budaya. Proses akulturasi ini terjadi apabila masing-masing kelompok mau saling bekerjasama bertukar informasi. Mereka berupaya mengembangkan budaya, bahasa dan adat-istiadat tanpa ada konflik. Selanjutnya melalui asimilasi yaitu seseorang atau kelompok mengambil alih identitas/budaya kelompok lain menjadikannya bagian daripada sistem sosial budaya mereka. Contoh Orang Cina dengan menghapus hambatan yang tidak harmonis antara Orang Cina dengan pribumi.

      1. Penyilangan Keanggotaan Dalam Berbagai Kelompok

      Integrasi nasional terjadi melalui proses penyilangan keanggotaan warga masyarakat dari berbagai kelompcik berbeda (biter-group membership). Teori ini dikemukakan oleh Seymor Marten Lipset (1960) dan Lewis Coser (1956). Menurut mereka integrasi bukan hanya faktor sosial budaya, tetapi bisa memasuki kelompok lain seperti memasuki organisasi; seperti partai Golkar terdapat banyak dari kelompok lain baik agarna, suku atau aspek lain bergabung didalamnya.

      Daftar Referensi

      Coser, L. A. (1956). The Functions of Social Conflict. New York: Free Press.

      Furnivall, J. S. (1948). Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India. Cambridge University Press.

      Lidlle, W. (1998). Sosiologi dalam Dimensi Politik dan Budaya. Jakarta: Erlangga.

      Lipset, S. M. (1960). Political Man: The Social Bases of Politics. Garden City, NY: Doubleday.

      Morris, C. W. (1988). Social Dynamics in Plural Societies: An Economic Perspective. New York: Cambridge University Press

      Robertson, I. (1977). Sociology. New York: Worth Publishers.

      Stephen, A. M., & Morris, C. (1986). Economic Integration and Social Cohesion in Plural Societies. London: Routledge.

      Triono, L. (1999). Sosiologi 2. Jakarta: Erlangga.

      Leave a comment