MASALAH KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA

PROF. DR. SYAMSIAH BADRUDDIN, M.Si

BAB IX

MASALAH KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA

Indonesia, sebagai negara yang memiliki keragaman suku, agama, ras, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga harmoni sosial. Keberagaman yang menjadi kekayaan bangsa ini sering kali memunculkan konflik sosial akibat perbedaan kepentingan, ketimpangan ekonomi, hingga kesenjangan sosial. Konflik-konflik tersebut tidak hanya merusak struktur sosial, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap stabilitas politik, ekonomi, dan pembangunan nasional. Bab ini akan membahas faktor-faktor penyebab konflik sosial di Indonesia, bentuk-bentuk konflik yang sering terjadi, serta upaya penyelesaian yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

A.  Konflik Sosial : Kajian Teoretis

Secara teoretis, konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat (Johnson, 1986 :269-274). Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada penciptaan keseimbangan sosial. Melalui proses tawar-menawar, konflik dapat membantu terciptanya tatanan baru dalam interaksi sosial sesuai dengan kesepakatan bersama (demokrasi) (Veeger, 1985:212). Bahkan konflik dapat dikelola dengan baik sampai batas tertentu, maka dapat juga dipakai sebagai alat perekat kehidupan masyarakat (kehidupan bangsa).

Namun, konflik sosial menjadi tidak lumrah dan menjadi sumber biang malapetaka dan kehancuran kehidupan berbangsa ketika disertai dengan tindakan anarkis dan kebrutalan seperti yang terjadi di penghujung kebangkrutan penguasa orde Baru dan di awal masa reformasi. Apalagi belakangan ini, konflik sosial diwarnai dengan agresivitas membabi buta yang ditandai dengan tindakan yang melampaui batas-batas perikemanusiaan yang disertai kekerasan, seperti saling bunuh, saling bakar, saling merusak dengan cara-cara sangat sadis. Konflik sosial semakin terasa sangat tidak patut karena sudah menuju ke bentuk kekerasan sosial di hampir seluruh lapisan masyarakat disertai dengan terancamnya keutuhan hidup berbangsa.

  • Tipe dan Akar Masalah Konflik Sosial

Tajuddin Noer (2000:175) berpendapat bahwa : secara teoretis konflik sosial dapat terjadi dalam berbagai tipe dan bentuk. Dalam hal ini perhatian dipusatkan pada dua tipe konflik sosial serta menyoroti secara kritis akar penyebabnya. Pertama, konflik sosial vertical, yakni ini boleh dikatakan latent karena benih-benih sudah ada dan terpendam selama beberapa waktu sebuah rezim yang berkuasa berkuasa, tetapi dapat diredam oleh penguasa saat itu dengan menggunakan tangan-tangan penguasa militer dan aparat birokrat dengan penerapan pendekatan keamanan.

Melalui tindakan itu diharapkan konflik vertikal tidak muncul ke permukaan sehingga ada kesan bahwa hubungan negara dan rakyat harmonis. Dengan demikian, seolah-olah stabilitas politik bisa terjaga dan tidak ada masalah dalam kehidupan bernegara. Penerapan cara ini jelas demi keuntungan rezim penguasa dan kroninya karena para investor asing diharapkan dengan senang hati menanamkan modal dan diusahakan untuk bekerja sama dengan para kroni penguasa.

Coser (dalam Poloma, 2000:113) berpendapat bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan yang hidup, sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak ada suasana yang benar-benar kacau.

Misalnya konflik antara pemerintah dan rakyat pada masa orde baru yang dilanjutkan dengan orde reformasi. Contoh lain, yaitu konflik vertikal melibatkan masyarakat dengan pemerintah atau otoritas tertentu. Contoh nyata adalah konflik di Papua yang melibatkan masyarakat lokal dengan pemerintah terkait isu otonomi khusus dan eksploitasi sumber daya alam.

Hal ini disebabkan karena dipendamnya konflik dan pemerintah selalu menekan untuk tidak terjadi konflik terutama antara rakyat dan pemerintah. Apa yang terjadi jika kepentingan-kepentingan yang berlawanan atau perasaan-perasaan bermusuhan itu dipendam atau ditekan?. Coser (dalam Johnson, 1986:201) berpendapat bahwa umumnya ada dua konsekuensi dipendamnya konflik itu yang dapat dikemukakan. Pertama, dipendamnya konflik dapat mengakibatkan putusnya hubungan. Kalau keterlibatan emosional para anggotanya sudah tinggi, berakhirnya hubungan itu mungkin dipercepat dengan meledaknya konflik secara tiba-tiba dan parah, di mana ketegangan dan permusuhan yang menggunung sejak masa lampau meledak dalm bentuk amukan yang keras. Dalam situasi seperti itu, peristiwa yang mempercepat terjadinya mungkin terakumulasinya permusuhan yang terpendam itu. Sebaliknya, kalau hubungan itu bersifat sekunder, putusnya hubungan yang ditimbulkan oleh konflik yang terpendam mungkin hanya berupa sikap apatis yang semakin bertambah dan akhirnya mundur. Konsekuensi kedua yang mungkin terjadi karena dipendamnya konflik adalah mengelakkan perasaan bermusuhan itu dari sumber sebenarnya, dan mengembangkan suatu saluran alternatif untuk mengungkapnya. Altrnatif dorongan-dorongan agresif atau permusuhan dapat diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas (Johnson, 1986:202).

Kedua adalah konflik sosial horizontal. Konflik sosial ini terjadi karena adanya konflik antar etnis, suku, golongan (agama), atau antar kelompok masyarakat (antar kampung, antar pemuda. Diyakini bahwa konflik horizontal dapat dipakai sebagai alat legitimasi untuk memperkuat personil militer. Diyakini bahwa konflik horizontal dapat dipakai sebagai alat legitimasi untuk memperkuat personil militeruntuk pengontrolan di sekitar daerah kejadian dengan dalih menjaga keamanan. Namun, di balik itu sebenarnya ada kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, konflik antar pemeluk agama sengaja direkonstruksi untuk kepentingan para penguasa dalam membatasi gerakan elit politik kelompok agama tertentu.

Konflik horizontal lainnya adalah konflik antara pribumi dan non-pribumi . sebenarnya, konflik ini sudah sering muncul di berbagai daerah. Pemicunya dilatarbelakangi kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial. Pada masa kolonial, konflik ini digunakan sebagai salah satu bagian strategi poitik divide et impera (poltiik adu domba atau pecah belah masyarakat) pemerintah kolonial. Akhir-akhir ini, konflik pribumi dan non-pribumi tidak hanya dipicu oleh kecemburuan sosial, tetapi juga dilatarbelakangi perbedan sikap loyalitas pada negara dan didorong juga oleh kebijakan pemerintah rezim Indonesia maju yang diduga cenderung memihak dan menguntungkan kepentingan para pedangan non-pribumi. Bukti-butkti dapat dilihat dari kenyataan bahwa para konglomerat sebagian besar adalah non-pribumi dan hanya sebagian kecil pribumi. Cukup menyakitkan memang, para konglomerat non-pribumi hidup dalam serba kemewahan sementara kebanyakan pribumi hidup diliputi dan himpit kemiskinan. Tidak mengherankan, bila konflik ini setiap saat bisa muncul ke permukaan. Apalagi, para elit sering memanfaatkan konflik antar etnis ini sebagai alat pemicu memancing kerusuhan (Effendi, 2000:180).

Selain kedua jenis konflik tersebut, terdapat juga jenis konflik lainnya yaitu konflik Agraria dan Lingkungan, Konflik agraria sering kali dipicu oleh perebutan lahan antara perusahaan besar dan masyarakat adat. Misalnya, konflik di Riau terkait ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merusak lahan milik masyarakat adat.

  • Konflik Sosial di Indonesia

Konflik sosial di Indonesia cenderung meningkat dengan skala kekerasan yang berbeda-beda. Satu indikator yang bisa dirujuk adalah adanya peningkatan bentuk kekerasan kolektif yang terjadi, sebagaimana hasil studi Djajadi (2000). Studi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kekerasan kolektif yang tinggi terjadi pada periode tahun 1990-1999, merupakan 70% dari keseluruhan kekerasan kolektif yang terjadi diukur dari periode tahun 1946 hingga 1955. konsep kekerasan kolektif yang dimaksudkannya cukup dekat dengan konsep konflik sosial yang akan digunakan dalam studi ini, yaitu sebagai bentuk kekerasan yang sifatnya tidak spontan, relatif terorganisasi dan memiliki tujuan khusus (Djajadi, 2000:150).

Konflik social yang dimaksud dalam studi ini adalah suatu keadaan pertentangan dan pertikaian di tingkat komunal atau masyarakat, yang diikuti dengan perilaku kekerasan yang bersifat merusak (destruktif). Konsep ini bersumber dari definisi tentang konflik social yang diajukan oleh Lewis Coser (1966:8), yaitu suatu upaya untuk memperjuangkan nilai-nilai, status social, kekuasaan, dan berbagai sumber daya yang langka dengan cara melemahkan, merusak ataupun menghancurkan pihak lawan. Namun, konsep konflik social yang digunakan dalam studi ini mempunyai perbedaan dari definisi Coser dalam hal penekanan pelaku atau para aktor konflik social. Jika definisi Coser tidak memberi batasan pelaku konflik social, studi ini menunjukkan konflik social sebagai bentuk kekerasan kolektif yang terjadi pada tingkat komunal atau masyarakat, bukan pada tingkat antar negara dengan masyarakat. Wujudnya bisa mengambil bentuk konflik antar-kelompok komunitas, antar-etnis, antar-agama ataupun antar-identitas social lainnya.

Situasi tentang kecenderungan terjadinya konflik social sebenarnya telah digambarkan sejak awal oleh Furnicall (Nasikun, 1984) terhadap masyarakat Indonesia di jaman Hindia Belanda. Menurutnya, sebagai masyarakat yang majemuk (plural society)1 maka secara politik Indonesia cenderung tidak memiliki kehendak bersama (common will), dan secara ekonomi tidak memiliki permintaan social yang sama (common social demand). Oleh karena itu, berdasarkan sifat keberagaman masyarakat maka Indonesia telah dikondisikan sebagai tempat yang rawan terjadi konflik, atau oleh Furnivall dibahasakan sebagai kondisi yang disintegratif.

Namun, argumen Furnivall dengan muatan perspektif fungsionalisme structural, sangat terbatas dalam melihat penyebab konflik social di Indonesia hanya karena factor struktur social saja. Membandingkan dengan wilayah lain, ada banyak yang punya karakter sebagai masyarakat majemuk seperti di Indonesia, namun skala konflik social yang muncul di wilayah tersebut termasuk rendah, sebagai contoh adalah negara Amerika Serikat, dan Eropa. Para ahli kemudian lebih melihat pada bagaimana keberagaman (diversity) tersebut terkait dengan kesadaran konflik; jika keberagaman tersebut diikuti dengan kesadaran konflik yang tinggi, maka ini yang dilihat sebagai pemicu konflik social. Para ahli dalam studi konflik dan perdamaian, menyatakan bahwa masyarakat yang sering terjadi konflik social yang destruktif sebagai masyarakat yang tidak mempunyai the culture of peace (Boulding, 1992; Galtung, 1978).

Para ahli sosiologi melihat kesadaran konflik yang tinggi terkait dengan fenomena kohesi social. Pandangan dari Peter Blau (1997) menjelaskan tentang adanya hubungan antar struktur identitas, relasi dan kohesi social. Dalam masyarakat yang heterogen cenderung berkembang berbagai parameter untuk menentukan status social seseorang, yaitu antara  lain jenis kelamin, agama, ras/etnik, pendapatan, pendidikan dan hal lainya. Jika berbagai  parameter pembeda tersebut bersifat terkonsolidasi (consolidation of parameters), yaitu misalnya agama tertentu terkait dengan pekerjaan tertentu, dan identik juga dengan identitas tertentu, maka kohesi social masyarakat cenderung rendah dan mudah mengembangkan kesadaran untuk berkonflik. Namun, jika parameter pembeda status social bersifat interseksi (intersection of parameters), artinya setiap identitas social tertentu tidak berkorelasi langsung dengan identitas social lain, maka kohesi social dalam masyarakat tinggi dan cenderung mengurangi derajat isolasi, ketegangan, dan konflik social.

Perspektif yang melihat sumber konflik sebagai akibat factor-faktor struktur social saja dianggap tidak bias menjelaskan berbagai konflik yang terjadi pada tingkat komunitas, terutama jika konflik tersebut berkembang menjadi berlarut (protracted conflict). Kesadaran konflik yang tinggi terkait pula dengan factor-faktor psiko-sosial. Studi Ross (1993), menjelaskan bahwa yang menyebabkan timbulnya konflik memang oleh factor structural yang real, namun terjadinya eskalasi konflik social lebih disebabkan oleh keyakinan social antar-pihak yang bertikai yang penuh muatan aspek psiko-sosial, seperti keyakinan dan persepsi terhadap out-group. Sehingga pertimbangan penyelesaian konflik perlu kepekaan dan pengertian terhadap aspek-aspek psiko-sosial tersebut.

Dari berbagai sejarah koflik social yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan, cenderung menandakan adanya kesadaran konflik yang tinggi pada tingkat masyarakat. Hal ini dikarenakan konflik social yang terjadi lebih banyak pada tingkat komunitas, yang disebabkan oleh perbedaan etnis, agama atau identitas social lainnya. Tercatat bahwa hanya konflik di Aceh, Timor Timur (sebelum berpisah) dan dalam skala kecil saja di Papua, yang masuk sebagai konflik antar-penduduk sipil dan engara. Konflik-konflik ini memang mempunyai isu yang berbeda, yaitu isu separatisme. Sedangkan konflik social di wilayah lainnya masuk dalam kategori sebagai konfik SARA (suku, agama, ras) dalam konteks wacana di Indonesia, dan disebut konflik etnis atau konfilk identitas dalam khasanah studi konflik dan perdamaian.

Konflik etnis memang merupakan karakter konflik social modern yang banyak terjadi di negara-negara lain setelah pasca perang dingin. Konflik semacam ini bukan lagi untuk tujuan politik kebijakan luar negeri, tetapi merupakan perang sipil untuk konsolidasi kekuasaan atas dasar etnis sebagai konflik identitas (Friberg, 1992; Regehr, 1930, karena tidak selamanya etnis sebagai persoalan mendasar, melainkan penguatan terhadap etnisnya sebagai response atas tidak terpenuhinya kebutuhan utama. Yang terpenting adalah, konflik etnis atau konflik identitas terjadi pada level sub-negara, yang melibatkan antar-komunitas atau berbagai kelompok social. Diperkirakan bahwa dua pertiga dari konflik bersenjata di dunia yang terjadi setelah perang dingin adalah konflik etnis atau identitas, terutama yang bertujuan untuk pengakuan politik (Regehr, 1993). Istilah “perang sipil” banyak digunakan dalam media untuk menggambarkan konflik pada tingkat komunitas semacam ini.

  • Penyebab Konflik Sosial di Indonesia
  1. Perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA)

Konflik berbasis SARA menjadi salah satu jenis konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Perbedaan keyakinan, adat istiadat, dan identitas sering kali memicu ketegangan di masyarakat. Misalnya, konflik yang terjadi di Poso (2000-2001) dipicu oleh ketegangan antara kelompok Muslim dan Kristen. Penelitian oleh Varshney (2002) menunjukkan bahwa lemahnya interaksi sosial antar kelompok berbeda dapat meningkatkan risiko konflik berbasis identitas.

2. Ketimpangan Ekonomi

Ketimpangan dalam distribusi sumber daya ekonomi menjadi salah satu akar konflik di Indonesia. Ketidakmerataan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia, misalnya, menciptakan ketegangan yang berujung pada konflik horizontal dan vertikal. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Gini Ratio Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 0,38, yang mencerminkan adanya ketimpangan pendapatan yang cukup signifikan.

3. Perebutan Sumber Daya Alam

Indonesia yang kaya akan sumber daya alam juga sering menghadapi konflik agraria. Konflik ini terjadi akibat tumpang tindih klaim atas lahan antara masyarakat lokal, perusahaan, dan pemerintah. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 241 kasus konflik agraria yang tercatat sepanjang 2023, dengan sebagian besar terjadi di sektor perkebunan dan pertambangan.

4. Lemahnya Penegakan Hukum

Lemahnya penegakan hukum sering kali memperburuk konflik sosial di Indonesia. Ketidakadilan dalam penyelesaian konflik, seperti keberpihakan aparat terhadap pihak tertentu, menciptakan rasa ketidakpuasan di masyarakat. Hal ini terlihat dalam konflik agraria di Kalimantan, di mana aparat keamanan sering kali dianggap lebih melindungi kepentingan korporasi dibandingkan masyarakat lokal.

Upaya Penyelesaian Konflik Sosial di Indonesia

  • Mediasi dan Dialog Antar Kelompok

Pendekatan dialog sering kali digunakan untuk meredakan konflik sosial. Forum-forum mediasi seperti Musyawarah Besar Masyarakat Adat di Kalimantan berhasil mengurangi konflik antar suku.

  • Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi

Pemerataan pembangunan, terutama di wilayah timur Indonesia, menjadi fokus pemerintah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Program Dana Desa, yang diluncurkan pada 2015, bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur dan ekonomi di pedesaan.

  • Penegakan Hukum yang Adil

Reformasi dalam sistem hukum diperlukan untuk memastikan keadilan dalam penyelesaian konflik. Pengadilan agraria, misalnya, dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan konflik lahan secara transparan.

  • Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural dapat membantu membangun toleransi dan pemahaman antar kelompok. Kurikulum yang mencakup nilai-nilai keberagaman telah diimplementasikan di beberapa daerah dengan tingkat konflik tinggi.

Teori-Teori Konflik

  • Teori Konflik Klasik (Karl Marx)

Karl Marx berpendapat bahwa konflik sosial muncul akibat ketimpangan antara kelas borjuis (pemilik modal) dan proletar (pekerja). Menurut Marx, konflik ini bersifat inheren dalam sistem kapitalis, di mana eksploitasi kelas pekerja oleh kelas borjuis menciptakan ketegangan yang berujung pada revolusi sosial. Buku Das Kapital (1867) adalah landasan utama teori ini.

  • Teori Konflik Modern (C. Wright Mills)

C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956) menjelaskan bahwa konflik sosial sering kali dipicu oleh dominasi kelompok elite yang mengendalikan kekuasaan politik, ekonomi, dan militer. Ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan ini menyebabkan ketegangan antara kelompok elite dan masyarakat umum.

  • Teori Konflik Fungsional (Lewis Coser)

Lewis Coser, dalam The Functions of Social Conflict (1956), berpendapat bahwa konflik sosial dapat memiliki fungsi positif, seperti memperkuat solidaritas kelompok dan mendorong perubahan sosial. Konflik dianggap sebagai mekanisme untuk menyesuaikan norma dan nilai dalam masyarakat yang berubah.

  • Teori Konflik Realistis (Ralf Dahrendorf)

Ralf Dahrendorf dalam Class and Class Conflict in Industrial Society (1959) menyatakan bahwa konflik muncul dari ketegangan struktural dalam masyarakat. Dahrendorf menyoroti bagaimana peran otoritas dan distribusi kekuasaan menciptakan konflik antara kelompok yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak.

Dampak Konflik Sosial

  • Dampak Ekonomi

Konflik sosial berdampak langsung pada ekonomi masyarakat. Penghancuran infrastruktur, pengungsian, dan hilangnya produktivitas masyarakat menjadi beban besar bagi negara. Menurut World Bank (2022), konflik berkepanjangan dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi hingga 2-3% per tahun.

  • Dampak Sosial

Konflik sosial merusak kohesi masyarakat. Polarisasi yang terjadi menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan antar kelompok. Selain itu, konflik juga menciptakan trauma psikologis bagi korban, terutama anak-anak.

  • Dampak Politik

Stabilitas politik sering kali terganggu akibat konflik sosial. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dapat memicu ketidakstabilan, seperti yang terjadi dalam berbagai demonstrasi besar di Papua selama beberapa tahun terakhir.

Kesimpulan

Masalah konflik sosial di Indonesia adalah tantangan besar yang memerlukan pendekatan holistik untuk penyelesaiannya. Faktor-faktor seperti perbedaan identitas, ketimpangan ekonomi, dan perebutan sumber daya alam harus ditangani melalui kebijakan yang inklusif dan adil. Dengan mengedepankan dialog, pemerataan pembangunan, dan penegakan hukum yang transparan, konflik sosial dapat diminimalkan, sehingga tercipta masyarakat yang harmonis dan damai.

Daftar Referensi

Boulding, K. E. (1992). Towards a Culture of Peace. Syracuse University Press.

Coser, L. A. (1956). The Functions of Social Conflict. Free Press.

Djajadi, D. (2000). Kekerasan Kolektif di Indonesia: 1946-1999. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Effendi, A. (2000). Konflik Sosial di Indonesia: Pendekatan Struktural dan Psikososial. Jakarta: Gramedia.

Furnivall, J. S. (1948). Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India. Cambridge University Press.

Galtung, J. (1978). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. SAGE Publications.

Johnson, H. M. (1986). Sociology: A Systematic Introduction. Routledge.

Marx, K. (1867). Das Kapital: Critique of Political Economy. Progress Publishers.

Mills, C. W. (1956). The Power Elite. Oxford University Press.

Nasikun. (1984). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Poloma, M. M. (2000). Contemporary Sociological Theory. Pearson Education.

Regehr, E. (1993). Conflict and Peacemaking in a Post-Cold War World. University of Manitoba Press.

Ross, M. H. (1993). The Culture of Conflict: Interpretations and Interests in Comparative Perspective. Yale University Press.

Tajuddin Noer. (2000). Studi Konflik Sosial di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Varshney, A. (2002). Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India. Yale University Press.

World Bank. (2022). The Economic Impact of Social Conflict. Washington, DC: World Bank.

Leave a comment