MASALAH-MASALAH SOSIAL

PROF. DR. SYAMSIAH BADRUDDIN, M.Si

BAB I

MASALAH-MASALAH SOSIAL DAN ILMU SOSIAL DASAR

  1. Definisi Masalah Sosial

Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu dihadapkan pada berbagai masalah sosial. Masalah sosial pada hakekatnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri karena masalah sosial telah terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusiaitu dari hubungan-hubungannya dengan sesama manusia lainnya, dan sebagai akibat dari tingkah laku manusia.

Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia tidaklah sama antara yang satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan kebudayaan dan masya­rakatnya; dan keadaan lingkungan alamnya di mana ma­syarakat itu hidup. Masalah-masalah tersebut dapat ter­wujud sebagai : masalah sosial, masalah moral, masalah politik, masalah ekonomi, masalah agama, ataupun ma­salah-masalah lainnya.

Yang membedakan           masalah-masalah sosial dari masalah-masalah lainnya adalah bahwa masalah-masalah sosial selalu ada kaitannya yang dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, serta selalu ada kaitan­nya dengan hubungan-hubungan manusia dan dengan konteks-konteks normatif dimana hubungan-hubungan manusia itu terwujud.

Pengertian masalah sosial ada dua pendefinisian, pertama pendefinisian menurut umum, kedua menurut ahli. Menurut umum atau warga masyarakat bahwa segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum ada­lah masalah sosial. Menurut para ahli masalah sosial ada­lah suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang berdasarkan atas studi, mereka mem­punyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan. Contoh : masalah pedagang kaki lima di kota-kota be­sar di Indonesia.

Menurut definisi umum, pedagang kaki lima bukan masalah sosial, karena di satu pihak para pedagang kaki lima tersebut dapat memperoleh nafkah untuk dapat melangsungkan kehidupannya; dan di lain pihak para pem­beli yaitu para warga masyarakat dengan mudah memperoleh pelayanan dan dengan harga yang pantas untuk taraf ekonomi mereka dari para pedagang kaki lima. Sebalik­nya para ahli perencanaan kota, ahli sosiologi dan ahli antropologi akan menyatakan bahwa pedagang kaki lima di kota-kota menjadi sumber dari berbagai kekacauan lalu lintas dan menjadi sumber utama dari suatu kondisi di mana kejahatan dengan mudah dapat terjadi­.

Dengan demikian, sesuatu masalah yang digolongkan sebagai masalah sosial oleh para ahli belum tentu di­anggap sebagai masalah sosial oleh umum. Sebaliknya ada juga masalah-masalah yang dianggap sebagai masalah sosial oleh umum tetapi belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh para ahli. Oleh karena itu dengan mengikuti batasan yang lebih tegas dikemukakan oleh Leslie (1974), masalah-masalah sosial dapat didefinisikan sebagai : Sesuatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat se­bagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai dan yang karenanya dirasakan perlunya untuk diatasi atau diperbaiki.

Berdasarkan pengertian di atas, maka masalah-ma­salah sosial ini pengertiannya terutama ditekankan pa­da adanya kondisi atau sesuatu keadaan tertentu dalam kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan. Kondisi atau keadaan sosial tertentu, sebenarnya me­rupakan proses hasil dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasma­niahnya (manusia harus makan, minum, buang air, ber­nafas, mengadakan hubungan kelamin, dan sebagainya), kebutuhan-kebutuhan sosial (berhubungan dengan orang lain, membutuhkan bantuan orang lain untuk memecahkan berbagai bmasalah, dan sebagainya), dan kebutuhan­-kebutuhan kejiwaan (untuk dapat merasakan aman dan tentram; membutuhkan cinta kasih dan sayang, dan se­bagainya).

Dalam usaha-usaha untuk, pemenuhan kebutuhan-­kebutuhan tersebut, manusia menggunakan kebudayaan sebagai model-model petunjuk didalam menggunakan lingkungan alamnya dan sosialnya di masyarakat. Per­wujudan ini adalah suatu kondisi atau keadaan dimana manusia itu hidup di dalam masyarakat. Kondisi-kondisi itu bukan sesuatu yang tetap tetapi selalu dalam proses perubahan.

Suatu kondisi yang tidak disukai oleh para warga masyarakat pada hakekatnya tidak biasa berlaku atau cocok dengan kebudayaan mereka. Sedangkan ukuran­-ukuran yang dipakai oleh para warga masyarakat yang bersangkutan untuk menilai dan mewujudkan tingkah la­ku mereka adalah: model-model dari kebudayaan yang telah mereka punyai, yaitu yang ada dalam kepala mereka masing-masing yang belum tentu telah berubah sesuai dengan perubahan kondisi yang mereka hadapi dalam ke­hidupan sosial mereka sehari-hari. Dengan demikian ter­dapat suatu ketidakcocokan antara pengetahuan ke­budayaan dan kenyataan-kenyataan objektif yang ada dalam kondisi-kondisi dimana mereka hidup. Dengan kata lain, ada perbedaan antara kerangka untuk interpre­tasi subjektif dari para warga dengan kenyataan-kenyata­an objektif dalam mana mereka itu hidup.

Di dalam kenyataannya, masalah-masalah sosial tidaklah dirasakan oleh setiap warga masyarakat secara sama. Sesuatu kondisi yang dianggap sebagai sesuatu yang menghambat atau merugikan oleh sejumlah warga masyarakat, belum tentu dirasakan oleh sejumlah warga masyarakat yang lain dari masyarakat tersebut, atau bahkan dirasakan oleh yang lainnya, sebagai sesuatu yang menguntungkan. Misalnya masalah sampah : Sam­pah yang bertebaran di mana-mana di sebagian kota dira­sakan sebagai merugikan kebersihan, kesehatan, keindah­an, dan ketertiban oleh sejumlah warga kota, tetapi di lain pihak dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan oleh misalnya para pengumpul barang bekas dan para pengumpul puntung rokok.

Kepekaan akan adanya masalah-masalah sosial biasa­nya dimulai oleh para ahli, para cendekiawan, pemimpin agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan oleh para warga masyarakat yang langsung merasakan akibat-akibat yang merugikan dari kondisi objektif yang ada tersebut. Kepekaan-kepekaan akan kenyataan bahwa kondisi-kon­disi yang ada itu telah berubah, dapat berubah menjadi masalah-masalah sosial kalau dapat mempengaruhi sebagi­an besar warga masyarakat.

  • Kebudayaan, Masyarakat, dan Masalah-masalah Sosial.

Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang diguna­kan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkung­an dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi me­wujudkan tingkah lakunya. Kebudayaan dalam hal ini, dapat dilihat sebagai ‘mekanisme kontrol’ bagi kelakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia (Coertz, 1973) atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia (Keesing dan Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupa­kan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-­resep, rencana-rencana dan strategi-strategl yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai manusia, dan yang digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam ting­kah laku dan tindakan-tindakannya (Spradley, 1972).

Lebih lanjut, bahwa kebudayaan merupakan penge­tahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti pe­rasaan-perasaan dan emosi-emosi serta menjadi sumber bagi sistem penilaian mengenai sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak berharga. Oleh karena itu, kebudayaan diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dan nilai-nilai moral ini ada pada pandangan hidup dan sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia dan kebudayaannya. Sedangkan masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas peranan-peranan dan kelompok-kelompok yang saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi, yang dalam mana tindakan-tindakan dan tingkah laku sosial manusia diwujudkan.

Dalam masyarakat, manusia belajar mengenai dan mengembangkan kebudayaannya. Hal-hal yang terutama dipelajari adalah sistem-sistem penggolongan, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai moral dan estetika, maupun mengenai golongan-golongan sosial; benda-benda, peris­tiwa-peristiwa, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada .dalam masyarakat, ajaran-ajaran agama, cara-cara mengungkapkan perasaan dan emosi, cara-cara bertingkah laku yang sebaik-baiknya, cara mencari makan untuk hidup­nya, cara-cara mempertahankan hak dan bahkan cara-cara menipu dan mencuri serta memanipulasi sesuatu, serta berbagai lain yang diperlukannya dalam hidupnya sebagai warga masyarakat. Berbagai hal yang dipelajarinya tidak­lah seluruhnya diterima, tetapi diterima secara selektif. Yang diterima dan dikembangkannya untuk menjadi kebudayaan adalah hal-hal yang dapat digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan pengalamannya dan lingkungannya serta untuk mendorong dan menjadi lan­dasan bagi tingkah lakunya.

Mereka mempelajari berbagai hal tersebut dari nasi­hat-nasihat dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh­nya dari hubungan-hubungan sosial dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, kerabat-kerabatnya, teman-teman­nya bermain, tetangga dan dari para warga masyarakat­nya. Di samping itu, juga dipelajari dari sekolah-sekolah, kursus-kursus, buku-buku atau tulisan-tulisan yang diba­canya, radio, televisi yang diikuti siaran-siarannya.

Berbagai masalah sosial, sesungguhnya telah terwu­jud dalam kaitannya dengan aspek-aspek, tersebut di atas. Tetapi aspek-aspek tersebut bukanlah masalah sosial dan tidaklah mewujudkan adanya masalah-masalah sosial kalau.masyarakat yang bersangkutan tidak berada dalam suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang ce­pat yang khususnya adalah disebabkan oleh perubahan teknologi. Suatu hal dikatakan sebagai masalah sosial, biasanya dirasakan adanya oleh masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang atau masyarakat-masyarakat yang sudah maju. atau kompleks, khususnya masyarakat-­masyarakat industri dan perkantoran.

  • Masalah-masalah Sosial dan Ahli IImu Sosial

Masalah-masalah sosial telah menghantui manusia sejak adanya peradaban manusia, karena dianggap se­bagai mengganggu kesejahteraan hidup mereka. Sehingga merangsang para warga masyarakat untuk mengidentifi­kasikan, menganalisa, memahami, dan memikirkan cara-­cara untuk mengatasinya. Di masa lampau, pada waktu belum ada ahli ilmu-ilmu sosial, para warga masyarakat biasanya peka terhadap adanya masalah-masalah sosial adalah parai ahli filsafat, pemuka agama, ahli politik dan kenegaraan.

Di samping hal di atas, berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial, se­perti : antropologi, sosiologi, politik, psikologi sosial, komunikasi, menjadikan masalah-masalah       sosial      se­bagai ruang lingkup studi mereka masing-masing. Walau­pun demikian, pusat studi-studi dari disiplin-disiplin ilmu-ilmu sosial tersebut bukanIah pada masalah-masalah sosial itu sendiri, tetapi pada usaha untuk memahami hakekat manusia menurut perspektif masing-masirig. Sedangkan masalah-masalah sosial dilihat sebagai hasil atau akibat dari adanya proses perubahan sosial dan perubahan ke.budayaan. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah proses-proses yang secara tetap dan terus-menerus dialami oleh setiap masyarakat manusia, cepat atau lam­bat berlangsung dengan tenang ataupun berlangsung dengan kekacauan.

Sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial seperti Merton dan Nisbet (1961); Denzin (1973), Gerson (1969) dan Brod­ley (1976), merasakan bahwa dengan menggunakan pendekatan masalah-masalah sosial sebagai kerangkanya ma­ka hakekat masyarakat dan kebudayaan manusia akan lebih dapat dipahami. Begitu juga, menurut mereka berbagai pemikiran yang secara masuk akal dapat dipertang­gungjawabkan yang berkenaan dengan usaha-usaha un­tuk memperbaiki masalah-masalah sosial, tersebut akan lebih dapat dikembangkan.

  • Masalah- masalah Sosial dan Ilmu Sosial Dasar

Ilmu sosial dasar bukanlah suatu disiplin ilmu pe­ngetahuan yang berdiri sendiri, tetapi hanyalah suatu pe­ngetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya. Istilah pe­ngetahuan mempunyai pengertian yang menunjukkan adanya kelonggaran dalam batas dan kerangka berpikir dan penalaran, maka istilah ilmu pengetahuan telah digu­nakan karena mencakup suatu pengertian mengenai suatu sistem berpikir dan penalaran yang mempunyai suatu kerangka pendekatan mengenai masalah-masalah yang menjadi sasaran perhatiannya.

Ilmu sosial dasar sebagai suatu mata kuliah, menya­jikan suatu pemahaman mengenai hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan masalah-masalahnya dengan me­nggunakan suatu kerangka pendekatan yang melihat sa­saran studinya tersebut sebagai suatu masalah objektif dan juga menggunakan kacamatan subjektif. Dengan me­nggunakan kacamatan objektif, berarti konsep-konsep dan teori-teori berkenaan dengan hakekat manusia dan masalah-masalahnya yang telah dikembangkan dalam il­mu-ilmu sosial akan digunakan. Sedangkan dengan menggunakan kacamata subjektif, maka masalah-masalah yang dibahas tersebut akan dikaji menurut perspektif ma­syarakat yang bersangkutan, dan yang dibandingkan de­ngan kacamata pengkaji atau masing-masing mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Ilmu sosial dasar. Diharapkan dengan gabungan kacamatan objektif dan subjektif ini, akan, mewujudkan adanya kepekaan mengenai masalah-­masalah sosial yang disertai dengan penuh rasa tanggung jawab dalam kedudukannya sebagai warga masyarakat il­miah, warga masyarakat dan negara Indonesia

  • Masalah Sosial dan Pendekatan yang Digunakan
  1. Kriteria dan Konsep Masalah Sosial

Kehidupan manusia sebagai, mahluk sosial selalu dihadapkan kepada masalah sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Masalah sosial timbul sebagai akibat perilaku dan terjadinya interaksi antara sesama manusia satu dengan yang lain termasuk lingkungannya.

Masalah sosial yang terjadi tidak sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, disebabkan oleh adanya perbedaan perkembangan kebudayaan, kependudukan dan lingkungan alamanya. disiplin-disiplin yang tergolong ilmu social mempelajari hakikat masyarakat dengan perspektif yang berbeda-beda, menyebabkan terjadinya keanekaragaman perilaku sosial yang disoroti dan dipelajarinya.

Menurut Kartini (1988) masalah sosial adalah bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat-istadat masyarakat (adat-istiadat yang diperlukan sebagai instrumen untuk mengatur masyarakat dalam hal mencapai kesejahteraannya). Masalah sosial merupakan hambatan dalam usaha mencapai sesuatu kehendak yang diinginkan. Masalah tersebut dapat terwujud sebagai fenomena sosial, ekonomi, politik, agama, budaya atau masalah­masalah lainnya. Fenomena yang membedakan masalah sosial dengan masalah lainnya adalah bahwa masalah sosial selalu ada kaitannya dengan pranata sosial dan nilai-nilai moral yang dipantulkan oleh hasil interaksi manusia satu sama lain.

Menurut Nisbet dalam Munandar (1995) pengertian masalah sosial memiliki dua konsepsi. Pertama; menurut pandangan umum, mendefinisikan masalah sosial adalah segala sesuatu yang mengganggu kepentingan umum. Kedua; menurut para ahli mendefinisikan bahwa masalah sosial suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam masyarakat berdasarkan studi merupakan gejala yang dapat menimbulkan kekacauan atau gangguan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan.

Contoh; misalnya pedagang kaki lima, menurut pandangan umum tidak menjadi masalah sosial, karena merupakan mata pencaharian dan mereka berupaya mencari nafkah untuk kelangsungan hidup. Jadi merupakan pola aktifitas ekonomi bagi lapisan sosial masyarakat tingkat bawah. Sebaliknya pandangan para ahli perencana kota memandangnya sebagai masalah sosial dengan alasan dapat menimbulkan kekacauan penataan kota, kesembrautan lalu lintas dan peluang kejahatan. Selanjutnya batasan yang dikemukakan oleh Leise (1974) yang dikutip Parsudi Suparlan (1981) bahwa masalah sosial adalah suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai suatu gejala yang tidak diinginkan. Oleh karena itu memerlukan upaya untuk mengatasinya. Usaha. untuk pemecahannya harus menggunakan cara yang diketahui dan berlaku di masyarakat.

Batasan masalah sosial sebenarnya rumit, karena kaitannya dengan, sistem nilai yang dianut oleh masing-masing  komunitas. Menurut Cohen (1964) masalah sosial terbatas pada masalah perilaku keluarga, kelompok atau individual menuntut campur tangan masyaakat. Jadi dapat diklarifikasi bahwa rnasalah sosial adalah hasil tingkah laku yang dapat dipandang sesuatu tindakan yang menentang norma-norma yang telah disepakati bersama di dalam masyarakat bersangkutan.

Kepekaan adanya masalah sosial biasanya diangkat oleh ahli, cendekiawan, pemimpin agama dan tokoh masyarakat. Sedangkan masyarakat yang langsung merasakan akibat-akibatnya. Jadi yang disebut  masalah sosial ialah apabila kondisi yang terjadi dapat merugikan masyarakat atau mempengaruhi sebagian besar dari warganya.

  1. Pendekatan dan Metode yang Digunakan

Untuk memahami masalah sosial yang beranekaragam perlu menggunakan pendekatan beragam, yaitu pendekatan interdisiplin approach dan multidisipline approach. Keanekaragaman kesatuan sosial di dalam masyarakat yang masing-masing mempunyai kepentingan, kebutuhan, pola pemikiran dan tingkah laku yank berbeda-beda. Namun tetap adanya perekat kebersamaan, tetap tidak kurang juga menimbulkan pertentangan-pertentangan dan hubungan kesetiakawanan. Oleh karena itu, pendekatan yang beragam dan bersifat lintas sektoral perlu diprioritaskan, sehingga masalah-masalah. yang rumit dapat ditangani dengan baik tanpa merugikan salah satu pihak di antara berbagai komunitas yang mendiami kepulauan nusantara ini.

  • Penutup

Pengertian masalah sosial ada dua pendefinisian, pertama pendefinisian menurut umum, kedua menurut ahli. Menurut umum atau warga masyarakat bahwa segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum ada­lah masalah sosial. Menurut para ahli masalah sosial ada­lah suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang berdasarkan atas studi, mereka mem­punyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan. Contoh : masalah pedagang kaki lima di kota-kota be­sar di Indonesia.

Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang diguna­kan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkung­an dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi me­wujudkan tingkah lakunya. Kebudayaan dalam hal ini, dapat dilihat sebagai ‘mekanisme kontrol’ bagi kelakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia (Coertz, 1973) atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia (Keesing dan Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupa­kan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-­resep, rencana-rencana dan strategi-strategl yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai manusia, dan yang digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam ting­kah laku dan tindakan-tindakannya (Spradley, 1972).

DAFTAR PUSTAKA

Cohen, A. K. (1964). Deviance and Control. Prentice-Hall.

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.

Keesing, R. M., & Keesing, F. M. (1971). New Perspectives in Cultural Anthropology. Holt, Rinehart and Winston.

Leslie, G. R. (1974). The Sociology of Social Problems. Appleton-Century-Crofts.

Merton, R. K., & Nisbet, R. A. (1961). Contemporary Social Problems. Harcourt, Brace & World.

Munandar, A. (1995). Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Gramedia.

Nisbet, R. A. (1961). The Sociological Tradition. Heinemann.

Parsudi, S. (1981). Kebudayaan dan Masalah-Masalah Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Spradley, J. P. (1972). The Cultural Dimension of Social Behavior. Wadsworth Publishing Company.

Suparlan, P. (1981). Sosiologi dan Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.